EKSPEDISI KUNYI

Matakali, 18 Februari 2017, berawal dari postingan facebook tentang sebuah mesjid tua di dusun Kunyi, kelurahan Anre Api. Saya dan Yusri, seorang kawan yang berprofesi sebagai jurnalis ingin menjajaki seberapa tua kira-kira mesjid tersebut. Namun kesibukan sebagai penyelenggara pemilihan gubernur Sulawesi Barat periode 2017-2022 tidak memberi kesempatan untuk segera menindak lanjuti temuan tersebut. Olehnya itu, barulah pada hari Sabtu tanggal 18 Februari 2017 menjadi waktu perjanjian kami untuk bertemu dan bersama-sama menuju ke lokasi. Mujahidin Musa yang juga rencananya ikut berekspedisi, batal karena sesuatu hal teknis, maka perjalanan itu kami lakukan berdua saja

Sinar mentari cukup panas memanggang mengantar perjalanan kami menyusuri jalan poros Polewali-Mamasa yang relatif bagus. Namun hal itu tak berlangsung lama sebab hawa sejuk pedesaan segera menyambut kami begitu memasuki wilayah kelurahan Anre Api yang jaraknya memang tidak begitu jauh dari kota Polewali. Jalanan yang meski agak sedikit menanjak namun cukup mulus dan tidak menyulitkan si Sushi (Suzuki Smash Hitam.....hehehe) tua yang kukendarai untuk melewatinya. Jalan poros yang diapit oleh bukit berhutan di sisi kanan dan sungai Lantora di sisi kirinya menyajikan kesejukan dan kedamaian.

Tidak berapa lama kemudian kami sampai di rumah kepala dusun Kunyi. Kami mendapatinya sedang memperbaiki pagar pekarangan, jadilah kami berbincang di depan rumah beliau yang berada persis di tepian sungai dengan banyak bebatuan. Dalam fikirku, pasti asyik jika di sungai ini ada wisata olah raga arung jeramnya. Tepat di seberang sungai depan rumah pak kepala dusun itulah, mesjid yang diduga berusia paling tidak 3 atau 4 abad itu berada. Namun ternyata struktur dan bangunan mesjid tidaklah setua dugaan saya. Meskipun arsitekturnya masih menyisakan gaya lokal dengan atap bersusun, namun bahan yang digunakan menunjukkan jika bangunan itu belumlah mencapai usia seabad. Menurutnya, mesjid tersebut pada awalnya dibangun oleh kakek dari imam terakhir mesjid yang diberi nama “Mesjid Alauddin”  dan telah meninggal sekitar tahun 1988. Dari informasi itulah saya mencoba menebak dengan perhitungan generasi bahwa mesjid tersebut dibangun sekitar awal 1900. Dan dugaan itu kemudian dikuatkan dengan cerita pak dusun bahwa bangunan itu telah dipugar pada tahun 70-an dan tidak menyisakan struktur asli. Mengetahui kenyataan, kami berdua tak berlama-lama lagi berada di lokasi dan bermaksud pulang ke rumah masing-masing.

Di tengah perjalanan, Yusri memberitahu bahwa di belakang PUSTU (Puskesmas Pembantu) Anre Api ada juga bekas bangunan yang menurutnya sudah tua. Sisa bangunan itu sempat ia lihat ketika meliput kebakaran hutan pada bulan Oktober tahun 2015 lalu. Ia meminta pendapat saya, apakah saya mau melihatnya atau tidak. Dan tanpa pikir panjang saya meng-ia-kannya. Jadilah kami melewati jalan setapak di samping rumah penduduk menuju kaki bukit. Berjarak sekitar 50 meter dari rumah penduduk kami memarkir kendaraan, sementara di depan kami nampak bangunan-bangunan mirip pilar tersembunyi oleh semak-semak dan rerumputan liar.

Pada mulanya saya menyangka bahwa bangunan yang berada di titik koordinat -3.387986, 119.355877 itu adalah bekas pintu gerbang, sebab awalnya hanya dua yang nampak oleh saya. Nantilah beberapa saat baru Yusri menunjukkan bahwa “pilar-pilar” tersebut rupanya berjejer, termasuk dua yang sudah tumbang. Segera saya turun ke bagian tengah yang memang agak rendah, meneliti pilar-pilar itu satu persatu. Mengamati barisan pilar yang makin ketepi makin pendek sementara bagian atasnya masih sama tinggi, dan juga salah satu sisi lokasi tidak terdapat barisan pilar. Saya berasumsi bahwa bagian dinding timur serta sebagian bangunan lainnya itu telah tertutup oleh longsoran tanah perbukitan yang ada di sampingnya.

Pilar yang berbentuk segi empat itu pada bagian ujung atasnya berukuran 60 cm.x50 cm. dan makin ke bawah makin besar. Jumlah keseluruhan pilar adalah 25 dengan jarak antar pilar adalah 250 cm. 5 pilar di antaranya berada di sisi selatan, 5 di utara dan 15 di sisi barat yang merupakan bagian memanjang dari struktur bangunan. Pilar-pilar itu dihubungkan dengan sebuah dinding batu dengan ketebalan 30 cm. dan sebagiannya sudah hancur. Pilar yang saya ukur dari sisi luar yang berada di sebelah utara dan berdiri tepat di tepi sungai kecil (selokan air) mempunyai ketinggian 280 cm. sementara yang paling pendek di sebelah selatan setinggi 150 cm. dari permukaan tanah. Dari situ saya berasumsi jika dinding bangunan itu dulunya berketinggian 3 meter, cukup tinggi untuk disebut benteng. Bisa juga arsenal atau gudang senjata bahkan bisa pula keduanya. Konon di samping struktur itu pernah pula ditemukan beberapa pucuk senjata api ketika masyarakat melakukan penggalian untuk sumur umum.

Di bagian dalam, nampak sebuah barisan batu yang direkatkan yang jika benar tersambung hingga ke bawah tanah, bisa jadi merupakan sebuah dinding yang membentuk sebuah ruangan dalam, mungkin kamar?.

Mengukur tinggi dinding dari permukaan tanah yang masih nampak

(Photo: Yusri)

Yang membuat saya tidak habis pikir kemudian adalah, kenapa struktur bangunan itu dibuat dari batu karang?. Sementara di daerah tersebut ketersediaan batu kali yang sangat bagus untuk bangunan cukup melimpah dan mudah didapati. Pertanyaan itu terus berputar di dalam kepala saya hingga tulisan ini saya buat tanpa sedikitpun kemungkinan jawaban saya dapati. Dan rasa penasaran itu pula yang mengantarkan saya hingga pulang dan menyelesaikan ekspedisi Kunyi bagian pertama ini bersama sebuah harapan bahwa semoga gubernur Sulawesi Barat yang baru bisa memperhatikan keberadaan bangunan tua ini dan bangunan-bangunan tua yang lain hingga Mandar tak kehilangan sejarahnya kelak.
Salah satu pilar, dibuat dari konstruksi batu karang.
(Photo: Yusri)
Ilustrasi sederhana denah situs

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BALA SUJI/LAWA SOJI/WALASOJI

Tafsir Lagu To Pole Dibalitung

Masihkah kita Mala’bi’ Pau